Tugas Semester 3
1.
Pendahuluan
Globalisasi menyangkut segala aspek kehidupan manusia.
Aspek-aspek kehidupan yang dimaksud yaitu, ekonomi, sosial, budaya dan bahasa.
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi antara sesama manusia untuk saling
berinteraksi. Di berbagai macam Negara bahasa yang digunakan sangat
berbeda-beda, khususnya di Negara Indonesia terdapat berbagai macam
bahasa daerah yang yang berciri khas daerahnya masing-masing. Untuk
mempersatukan bahasa-bahasa daerah tersebut Negara Indonesia
juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sehingga bahasa
Indonesia merupakan bahasa kesatuan republik Indonesia.
Bahasa Indonesia resmi diakui sebagai bahasa kesatuan
Republik Indonesia pada saat sumpah pemuda 28 Oktober 1928, pada saat itu
bahasa Indonesia mulai berkembang sehingga bahasa Indonesia mempunyai peranan
penting terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri, karena
bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa penghantar
dalam pendidikan di Indonesia. sehingga Bahasa Indonesia juga memegang peranan
penting dalam membangun manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan sumber daya manusia yang relevan dengan perkembangan
zaman. Oleh karena itu, peningkatan pendidikan bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan akademik para
pengajarnya.
Seiring dengan perkembangan zaman bahasa Indonesia telah
berkembang sangat baik sehingga bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa
pendukung Ilmu pengetahuan dan Teknologi (iptek). Namun, di era globalisasi
saat ini bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah, karena masuknya
bahasa asing di tengah-tengah bahasa indonesia berkembangnya bahasa Indonesia
dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri. Sehingga bahasa
asing tersebut dapat memberikan dampak negative terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
Adapun masalah yang dapat kita angkat yaitu jelaskan apa pengaruh bahasa asing
terhadap bahasa indonesia?
2. Sejarah
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu,
para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda
dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Unsur yang ketiga dari
Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa
nasional.
Bahasa
Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus
1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang
dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa
perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga
hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai
dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu
ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur
berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M
(Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada
zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai
bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap
para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah
Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan
bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159),
Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana,
1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang
berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa
Melayu.Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan
pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil
susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa
Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam
di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa,
dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa
Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa
Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta,
bahasa Persia,
bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di
wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan
persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu. Para pemuda Indonesia
yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia,
yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong
perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik,
perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa
Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia
dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat
maupun daerah.
3. Kedudukan Bahasa Indonesia
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat
kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan
bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil
mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini
mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul
secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua
fungsi saja.
Bahasa
Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda”, 28 Oktober 1928, yang
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda
sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat
bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia
yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini
ternyata bukan hanya hisapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi
sebagai pemersatu bangsa Indonesia.
Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang
berbagai etnis terpupuk.
Kehadiran bahasa Indonesia
di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi
etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia
dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego
kesukuan. Sejalan dengan fungsinya sebagai alat
perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula
menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun
yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum
sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat
kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang
dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa
nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna
dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa
Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal
pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya,
surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan,
lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi
pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan
menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan
menggunakan bahasa Indonesia.
Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup
jauh,misalnya antara bawahan – atasan, mahasiswa – dosen, kepala dinas – bupati
atau walikota, kepala desa – camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36,
UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan
bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam
hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat
yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional
sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas
sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia
dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional.
Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai
bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi
(iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan
pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan
dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau
perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan
dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia
tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber)
dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa
Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai
bangsa Indonesia
sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai
kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa
Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai
dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia,
kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar
di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas
tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di
perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa – skripsi, tesis,
disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat
penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum
mampu mewadahi konsep-konsep iptek.
4. Penyebab Terjadinya
Variasi Penggunaan Bahasa Asing dalam Lingkup Masyarakat Indonesia
4.1. Interferensi
Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa
Indonesia sebagai bahasa Nasional berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang
dalam masyarakat. Perkembanngan ini tentu menjadi masalah tersendiri yang perlu
mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemultibahasaan adalah suatu
kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di samping
segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap
penguasaan Bahasa Indonesia. Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama dalam
komunikasi resmi sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus
terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk.(eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya
unsur pungutan dari bahasa Jawa, misalnya dianggap pemerkayaan bahasa
Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang
dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang
menjadi sebab adanya interferensi. Chaer (1994: 66) memberikan batasan
interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang
sedang digunakan sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang
digunakan itu.
Selain bahasa daerah, bahasa asing (baca Inggris) bagi
sebagian kecil orang Indonesia
ditempatkan di atas bahasa Indonesia.
Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial
ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Inggris yang baik menjanjikan kedudukan
dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi
kebiasaan yang sudah tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya
bahasa dan budaya Indonesia
yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya,
masyarakat lebih cenderung memilih “pull” untuk “dorong” dan “push” untuk
“tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
Sikap terhadap
bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan berbahasa Indonesia
di berbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan atas; bahkan kalangan
intelektual. Akan tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa Indonesia pada golongan atas dan kelompok
intelektual terletak pada sikap meremehkan dan kurang menghargai serta tidak
mempunyai rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.
4.2. Integrasi
Selain interferensi, integrasi juga dianggap sebagai
pencemar terhadap bahasa Indonesia.
Chaer (1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain
yang terbawa masuk sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dan
bahasa yang menerima atau yang memasukinya. Proses integrasi ini tentunya
memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah
disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi antara lain montir,
riset, sopir, dongkrak.
4.3. Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode ( code swiching) dan
campur kode (code mixing) merupakan dua buah masalah dalam masyarakat yang
multilingual. Peristiwa campur kode dan alih kode disebabkan karena
penguasaan ragam formal bahasa Indonesia.
Alih kode adalah beralihnya
penggunaan suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode
yang lain (bahasa atau bahasa lain) (Chaer, 1994: 67). Campur kode adalah dua
kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam
situasi santai (Chaer, 1994: 69). Di antara ke dua gejala bahasa itu, baik alih
kode maupun campur kode gejala yang sering merusak bahasa Indonesia adalah
campur kode. Biasanya dalam berbicara dalam bahasa Indonesia dicampurkan dengan
unsur-unsur bahasa daerah. Sebaliknya juga bisa terjadi dalam berbahasa daerah
tercampur unsur-unsur bahasa Indonesia. Dalam kalangan orang terpelajar
seringkali bahasa Indonesia dicampur dengan unsur-unsur bahasa Inggris.
4.4. Bahasa Gaul
Dewasa ini pemakaian bahasa
Indonesia baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia film mulai bergeser digantikan
dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul.
Interferensi bahasa gaul kadang muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam
situasi resmi yang mengakibatkan penggunaan bahasa tidak baik dan tidak benar.
Bahasa gaul merupakan salah
satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini
mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai
bahasanya para bajingan atau anak jalanan disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan
sebagai preman.
Sehubungan dengan semakin
maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern,
perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa
Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan.
Dewasa ini, bahasa prokem
mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam
konteks kekinian, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang
terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu. Penggunaan bahasa
gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan
kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang
bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.
Contoh penggunaan bahasa gaul
sebagai berikut :
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Gaul (informal)
|
Aku, Saya
|
Gue
|
Kamu
|
Elo
|
Di masa depan
|
kapan-kapan
|
Apakah benar?
|
Emangnya bener?
|
Tidak
|
Gak
|
Tidak Peduli
|
Emang gue pikirin!
|
5. Pengaruh Bahasa Asing
Terhadap Bahasa Indonesia
Zaman sekarang, hanya bisa menggunakan satu bahasa saja sangatlah
sulit untuk bisa masuk dalam global competition. apalagi posisi negara kita
yaitu sebagai negara berkembang yang masih memerlukan bantuan dan kontribusi
dari negaralain khususnya negara maju. apalagi kalau bukan bahasa . setiap
individu setidaknya bisa menggunakan bahasa asing atau bahasa internasional.
kita tahu bahwa bahasa internasional Bahasa Inggris. untuk bisa berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang dari negara lain, orang tersebut pasti
menggunakan bahasa inggris.
Bahasa
asing di negara indonesia,
mempunyai pengaruh besar bagi indonesia
itu sendiri. pengaruh yang diberi pun beraneka ragam. ada yang memberikan
pengaruh positif dan tidak jarang juga ada yang meberikan pengaruh negatif. dengan
keberadaan bahsasa inggris ( bahasa asing ) sebagai bahasa internasional,
pendidikan indonesia
mulai dari taman bermain sampai dengan universitas memiliki kurikulum dan
pelajaran tentang bahasa inggris. ini dilakukan agar sumber daya manusia indonesia
dapat ikut andil dalam globalisasi dunia. pengaruh yang cukup positif bukan. pengaruh
negatif dari bahasa asing itu sendiri ada. belakangan ini, pengaruh negatif
dari bahasa asing tersebut sudah terlihat. seperti pada perkembangan anak. cara
pemakaian bahasa belakang ini yang sedang populer di semua kalangan adalah
penggunaan bahasa campur aduk. bahasa indonesia dikombinasikan dengan bahasa
asing.
Banyak
anak – anak sekarang yang merasa lebih percaya diri dan gaul jika menggunakan
bahasa campur aduk tersebut. ini jelas mengurangi kekaedahan dan keabsahan akan
bahasa indonesia yang menjadi bahasa persatuan itu sendiri. sejarah juga
mencatat, bahwa presiden pertama republik indonesia, soekarno pernah
menggunakan tiga bahasa sekaligus dalam pidatonya. dalam pidatonya tersebut,
beliau menggunakan bahasa indonesia,
yang dicampuradukan dengan bahasa sunda dan bahasa belanda. tidak hanya
soekarno, aktivis nasional soe hok gie, dalam bukunya catatan demostran, biasa
mencampur bahasa indonesia dengan bahasa inggris. itu pun berlangsung pada buku
– buku lain sampai sekarang.
6. Penutup
Bahasa-bahasa asing yang masuk ke Indonesia dapat memberikan dampak negative terhadap
perkembangan bahasa Indonesia.
Karena masuknya bahasa asing membuat bahasa Indonesia yang sedang berkembang
saat ini mulai sedikit terlupakan oleh sebagian remaja. Bahasa inggris yang
merupakan bahasa internasional dapat mengalihkan perhatian masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Hal
ini terjadi karena untuk berkompetisi dengan Negara lain tentu masyarakat Indonesia lebih
cendrung beralih kepada bahasa inggris. Sehingga bahasa Indonesia mulai
terlupakan. Bukan hanya itu bahkan sampai saat ini bahasa Indonesia juga telah
dicampur adukan dengan bahasa-bahasa lain, sehingga munculah istilah bahasa
asing.
Referensi
1.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowipjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M.
Moeliono (eds). 2003. Tata
2. Chaer, Abdul. 1994.
Linguistik Umum. Jakarta.
Rineka Cipta.
6.
http://re-searchengines.com/1006masnur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar